Presiden vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Presiden vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Eksklusif: Menelusuri sejarah konflik eksekutif-legislatif dan keinginan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat | DPR

Oleh: Tim Riset AdaTV 22 Agustus 2025 Politik & Pemerintahan
Presiden vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen
Dalam dinamika ketatanegaraan di Indonesia, hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak selalu harmonis. Pasal 7C UUD 1945 secara tegas melarang Presiden membubarkan DPR. Namun, dalam lorong-lorong pelik sejarah politik Indonesia, hasrat atau ancaman untuk membubarkan lembaga tertinggi negara tersebut pernah muncul dari pihak Istana.

Latar Belakang Konstitusional

Larangan Dalam membubarkan DPR adalah salah satu pilar utama dalam sistem ke pemerintahan presidensial yang kita anut pasca-Reformasi 1998. Tujuannya untuk menciptakan stabilitas, checks and balances, dan mencegah kembalinya otoritarianisme. Namun, sebelum dan bahkan setelah amendemen konstitusi, gagasan untuk "membersihkan" parlemen kerap mengemuka saat deadlock politik terjadi.

Oke Baik, Langsung Menuju inti post saja, Berikut adalah presiden-presiden yang pernah berkeinginan atau disebut-sebut pernah memiliki hasrat untuk membubarkan DPR beserta analisis alasannya.

Presiden Soekarno vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Soekarno

Sang Proklamator dan Dekret Pembubaran Konstituante

Momen: Dekret Presiden 5 Juli 1959

Alasan dan Konteks: Meskipun yang dibubarkan oleh Presiden Soekarno adalah Konstituante (lembaga pembuat UUD) dan bukan DPR hasil pemilu 1955, tindakan ini adalah contoh paling nyata dari seorang presiden yang membubarkan lembaga perwakilan rakyat. Konstituante mengalami deadlock yang berkepanjangan dalam memperdebatkan dasar negara, antara Piagam Jakarta dan Pancasila.

Soekarno, yang sudah lama tidak sabar dengan demokrasi parlementer yang dianggapnya "cacat" dan lamban, melihat ini sebagai peluang. Dengan dukungan militer (TNI AD), ia mengeluarkan dekret yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.

Alasan Inti:

Soekarno percaya pada sistem Demokrasi Terpimpin. Ia menganggap parlemen dan demokrasi liberal ala Barat tidak cocok untuk Indonesia dan hanya menghasilkan perpecahan. Ia ingin konsolidasi kekuasaan untuk mempercepat pencapaian cita-cita revolusi. Pembubaran Konstituante adalah langkah pertama menuju sistem yang ia inginkan, di mana kekuasaan terpusat di tangannya.

Presiden soeharto vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Soeharto

Ancaman di Balik Stabilitas Orde Baru

Momen: Berbagai kesempatan tidak langsung selama kekuasaannya (1966-1998).

Alasan dan Konteks: Soeharto adalah ahli dalam mengontrol DPR, bukan membubarkannya. Selama Orde Baru, DPR diisi oleh golongan fungsional dan ABRI yang tunduk pada kehendak eksekutif. Namun, ancaman implisit selalu ada. Soeharto tidak perlu membubarkan DPR karena ia sudah "mengamankan" komposisinya.

Namun, pada akhir kekuasaannya, khususnya saat krisis moneter 1997-1998, desakan untuk reformasi semakin kencang dari berbagai pihak, termasuk sebagian anggota DPR/MPR. Dalam rapat-rapat internal, wacana pembubaran DPR sempat mengemuka dari kalangan petinggi Istana dan pendukung Soeharto.

Alasan Inti:

Ancaman ini muncul sebagai bentuk pertahanan kekuasaan. Jika DPR yang sudah "dikendalikan" selama puluhan tahun mulai menunjukkan pembangkangan, opsi terakhir adalah membubarkannya untuk mencegah mosi tidak percaya atau pemakzulan. Namun, Soeharto memilih untuk mundur pada 21 Mei 1998 sebelum langkah ekstrem ini diambil, karena telah kehilangan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dan TNI.

Presiden Gusdur vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Konfrontasi Terbuka yang Berujung Pemakzulan | Dilengserkan

Momen: Pertengahan tahun 2000 hingga Juli 2001.

Alasan dan Konteks: Ini adalah kasus yang paling spektakuler dan nyaris terjadi pasca-Reformasi. Hubungan Presiden Gus Dur dengan DPR memburuk akibat skandal Buloggate dan Bruneigate. DPR kemudian mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II sebagai langkah menuju pemakzulan.

Sebagai bentuk perlawanan, Gus Dur kerap mengancam akan membubarkan DPR. Ancaman ini memuncak pada Juli 2001. Gus Dur dikabarkan akan mengeluarkan dekret presiden yang berisi pembekuan DPR/MPR, pembubaran Partai Golkar, dan penyelenggaraan pemilu dalam waktu satu tahun.

Alasan Inti:

Gus Dur beralasan bahwa DPR telah melampaui kewenangannya dan politiknya telah membelenggu pemerintahannya yang legitimal. Ia melihat deadlock ini tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa dan membutuhkan langkah extraordinair untuk "mereset" politik dengan kembali kepada rakyat melalui pemilu baru. Ia yakin rakyat berada di pihaknya. Namun, dukungan TNI dan Polri tidak ia dapatkan. Dekretnya tidak dilaksanakan, dan MPR akhirnya memberhentikannya.

Presiden Jokowi - jokowidodo vs DPR: Momen-Momen Ketika Istana Berhasrat Membubarkan Parlemen

Joko Widodo

Isu dan Wacana di Kalangan Pendukung

Momen: Wacana yang beberapa kali muncul dari kalangan pendukung dan pengamat, terutama saat terjadi kebuntuan politik.

Alasan dan Konteks: Perlu ditekankan: Presiden Joko Widodo sendiri tidak pernah secara resmi mengancam atau berkeinginan membubarkan DPR. Namun, dalam beberapa kesempatan, khususnya ketika koalisi pemerintah tidak memiliki mayoritas kuat di awal periode pertama (2014-2019) dan sering terjadi kebuntuan pengesahan RUU, wacana ini mengemuka dari beberapa pendukungnya, pengamat politik, dan tokoh publik.

Mereka berargumen bahwa DPR periode 2014-2019 dianggap lamban, tidak produktif, dan terlalu sering mempolitikasi setiap kebijakan pemerintah. Wacana yang muncul adalah "jika perlu bubarkan saja DPR yang tidak produktif ini dan adakan pemilu ulang".

Alasan Inti (dari pendukung wacana):

Argumennya adalah efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebuah parlemen yang terus-menerus menghambat agenda pembangunan dianggap merugikan rakyat. Pembubaran dilihat sebagai "obat kejut" untuk mengembalikan mandat kepada rakyat agar memilih wakil yang lebih berkualitas dan dapat bekerja sama dengan pemerintah. Namun, Jokowi dan istana selalu membantah wacana ini dan memilih jalur kompromi politik hingga akhirnya berhasil memperluas koalisinya.

Kesimpulan: Keinginan vs Konstitusi

Keinginan untuk membubarkan DPR pada dasarnya bersumber dari satu hal: konflik politik yang tidak terselesaikan antara eksekutif dan legislatif.

Di era sebelum Amendemen UUD 1945 (Soekarno dan Soeharto), kekuasaan presiden sangat besar dan pembubaran lembaga perwakilan adalah sebuah opsi yang mungkin dilakukan dengan dukungan militer.

Di era Reformasi, konstitusi telah diperkuat untuk mencegah hal itu. Pasal 7C UUD 1945 menjadi benteng yang tak tergoyahkan. Kasus Gus Dur adalah contoh nyata bagaimana seorang presiden tidak bisa melakukannya tanpa dukungan penuh TNI dan lembaga penegak hukum.

Artikel ini menunjukkan bahwa meskipun hasrat itu pernah ada, jalan konstitusional dan politik melalui negosiasi, kompromi, dan koalisi tetap menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan pertikaian antara dua lembaga tinggi negara tersebut. Ancaman membubarkan DPR lebih sering menjadi alat tekanan politik daripada sebuah rencana yang benar-benar executable dalam sistem demokrasi Indonesia modern.

Disclaimer: Artikel ini disusun berdasarkan catatan sejarah, laporan media, dan analisis politik. Beberapa "keinginan" bersifat implisit dan merupakan interpretasi dari tindakan dan ancaman yang dilakukan oleh presiden atau lingkaran dalamnya.

Artikel eksklusif ini dipersembahkan untuk pembaca yang mencintai analisis politik Indonesia yang mendalam.