GURUKU, ISTRIKU | Dinikahkan Mantan Calon Suami
πππ
Hari Sabtu, Pak Ridwan bertemu dengan Om Seno juga Fajrin dan Bia di sebuah restoran. Fokus om dari Bia itu hanya pada uang lima puluh juta, sehingga Pak Ridwan semakin sadar, bahwa lelaki ini memang hanya butuh uwangnya.
“Saya akan serahkan uang mas kawin untuk Bia lima puluh juta tentu setelah resepsi usai, Pak Seno. Jadi, besok kita akad nikah dulu.” Pak Ridewan menatap lelaki itu.
“Masalahnya, saya harus membayar sewa gedung dan catering untuk pernikahan an4k saya. Ina namanya. Di akan menikah dengan an4k dari lurah tempat kami tinggal,” ujar Om Seno membuat Bia menunduk pasrah.
“Ya sudah, kan habis akad bisa ambil dan bayarkan ke mereka. Ini Sabtu,” ujar Pak Ridwan menatap lelaki di hadapannya.
“Iya, Pak Ridwan. Siap, besok saja habis akan nikah. Sekalian, saya titip Bia. Dia saya yang urus sejak bapaknya meninggal. Sekolahnya saya yang biayain. Makanya sudah saatnya dia membalas kerja keras saya merawatnya. Semoga, Bia juga gak lupa nanti setelah menikah pasti punya om yang sudah menjaganya,” papar Pak Seno membuat Fajrin menatap sinis, lalu menoleh pada Bia.
“Itu bukannya kewajiban seorang paman kepada keponakannya ketika ayahnya meninggal? Kok ada istilah membalas kerja keras?” tanya Fajrin membuat Bia menoleh pada calon suaiminya.
“Ya karena demi bayar sekolah Bia dan kasih makan, kami harus membaginya dari jatahnya Ina,” jawab Tante Tanti serius.
“Iya, tapi itu kewajiban. Kalau gak ditunaikan malah situ dosa kan?” tanya Fajrin serius. “Jadi, apa yang om lakukan ke Bia gak ada istilah harus balas jasa, karena Bia sudah membuat om gugur dari dapat dosa.”
“Eh, ini anak kok tiba-tiba lurus otaknya? Tahu dari mana dia bahwa itu memang kewajiban seorang paman dari ayah untuk menafkahi keponakannya ketika ayahnya sudah meninggal?”
“Hmm, tapi ... itu ....”
“Ketika orang tua seorang anak meninggal maka yang menafkahi anak itu adalah walinya, dalam hal ini kakek atau paman dari ayahnya. Sudah tepat lah om yang merawat Miss Bia. Lagipula memberi makan yatim piatu itu pahalanya balasan surga, masih mau minta balasan di dunia aja?” tanya Fajrin membuat om dan tantenya Bia terdiam.
Bia sendiri menunduk menahan tawa. Masih bingung dari mana si boc4h tua genit itu menemukan kata-kata itu.
“Sudahlah, nanti berikan saja mas kawin untuk pamanmu, Bia. Setelah itu, ya kamu memang gak ada kewajiban membalas kebaikan apa pun. Secara hukum negara dan agama, memang omnya yang harus menafkahi Bia. Dituntut ke pengadilan juga gak bisa,” papar Pak Ridwan sudah malas bicara dengan dua orang gila harta ini.
Dia pun berbisik pada Pak Hikam dan anak buahnya, agar jangan sampai tahu bahwa dirinya anggota dewan sekaligus pemilik yayasan pendidikan. Yang ada, dia akan semakin menjengkelkan nantinya.
Usai rapat, Bia pun pergi mencari pakaian pengantin sendiri. Dia tak ingin ada yang tahu di antara temannya sekali pun. Calon ibu mertuanya terlihat sekali tak bersahabat, menimbulkan keraguan yang membuat dia cemas.
Pulang dari membeli pakaian pengantin, hanya berupa gamis putih sederhana di pasar. Bia menuju rumah gurunya. Ia pun mengembalikan CV Ustadz Faqih dan mengatakan sudah mendapat calon suami.
“Maaf, Ustadz, sepertinya saya harus menolak Ustadz Faqih,” katanya dengan menunduk lemah.
Istri sang guru tertegun mendengarnya. Bagaimanapun, Ustadz Faqih sang penghulu muda itu idaman para wanita. Namun, ia tak sembarang memilih calon istri. Hingga bersedia ta’aruf dengan Bia yang ia ketahui sebagai guru.
“Tapi kenapa, Bia?” tanya istri gurunya kerehanan.
“Bia sudah menemukan pasangan. Insyaallah besok akan menikah,” jawab Bia dengan menahan perih di dadanya.
“Secepat itu?” tanya gurunya.
“Ada hal yang gak bisa Bia katakan, Ustadz. Mohon maaf. Tapi doakan saja bahwa ini yang terbaik. Dan ... sebenarnya mau meminta ustadz agar jadi saksi pernikahan kami esok. Saya akan menikah dengan ... murid saya.”
“Apa?” pekik sepasang suami istri itu saling menoleh satu sama lain.
“Sebenarnya ada apa? Apa kamu dilecehkan sehingga dipaksa menikah? Harusnya kamu penjarakan saja an4k seperti itu,” ujar gurunya, Ustadz Bahrul menatap serius.
“Bukan, Ustadz, tapi ... saya sedang butuh u4ng dan orang tua an4k itu meminta saya menjadi istri an4knya. dengan mas kawin sejumlah uang yang dibutuhkan. Jadi ... saya gak ada pilihan lain,” jawab Bia menunduk.
“Miss, kamu sadar sedang mempermainkan pernikahan dan bukan karena ibadah?” tanya istri gurunya.
“Saya mohon ampun sama Allah setiap detik, Umi. Saya gak punya pilihan lain. Om saya minta balas jasa atas apa yang saya terima darinya. Sebesar lima puluh juta, di sisi lain ... Fajrin, murid saya, meminta orang tuanya menikahkan kami. Dia an4k orang terpandang.” Bia menunduk sedih, karena ia pun belum lah cinta pada calon suaminya itu.
Malah, dia memang sangat kagum dan terkesan dengan ketampanan Ustadz Faqih. Bisa dikatakan cinta pertamanya. Namun, Bia bukan perempuan yang mengejar cinta. Dia memilih mengubur rasa itu sebelum semakin besar.
“Astaghfirullah, kita memang gak pernah tahu ujian dan takdir akan seperti apa. Tapi kami hanya berpesan, caramu memilih pasangan dalam hal ini menikah pun sudah bukan alasan ibadah, maka kamu harus siap dengan ujiannya. Bukan nakut-nakutin, yang niatnya ibadah saja bisa diuji sedemikian berat. Itu yang harus diingat,” ujar Ustadz Bahrul membuat Bia mengangguk.
“Saat Allah berpaling dari kita, memang bukan napas yang dihentikan, atau nyawa yang dicabut, tapi saat kamu merasakan banyak kemudahan sehingga lalai pada ibadah. Jadi, andai ini adalah ujian karena Allah sayang kamu, insyaallah balasannya surga kelak,” ujar istrinya Ustadz Bahrul.
“Kami juga gak bisa bantu kalau lima puluh juta.”
“Iya, Ustadz. Doakan saya gak salah jalan,” ujar Bia sambil menoleh ke arah paper bag berisi pakaian pengantin.
Entah pernikahan seperti apa yang akan dia jalani. Baju pengantin saja tanpa manik-manik dan hiasan. Hanya gaun panjang dan kerudung yang menjuntai putih. Bahkan dia pun tak tahu akan dandan atau tidak. Seperti mainan rasanya.
Namun, tanpa dia tahu, Fajrin sudah mencari tahu penata make-up di instagram. Dia meminta riasan natural dan tak terlalu tebal. Dia tak mau wajah istrinya pangling tapi menghilangkan ciri alaminya yang cantik dari sananya. Kebanyakan riasan di mata Fajrin seperti patung dan menyeramkan.
Fajrin: Miss, baju pengantin udah ada belum?
Bia membuka pesan. Benar-benar seprti pernikahan mainan. Bohongan.
Bia: Sudah, gamis putih sama kerudung putih menjuntai. Tapi yang sederhana. Gak ada manik-manik atau apa pun. Katanya sedang kosong.
Fajrin: Mau aku cariin yang bagusan?
Bia: Jangan! Sayang uwangnya. Kita kan nikah bohongan.
Fajrin: Mana ada nikah bohongan. Jadi yang belum ada apa aja nih? Make-up dah dapat tukang rias yang natural riasannya. Terus ... kita akan tinggal di rumah Kak Fauzan yang di Pejaten.
Bia: Ya.
Fajrin: Dikit amat balasnya. Cincin udah aku belikan. Nih lihat.
Fajrin memotret cincin bermata berlian yang kecil dan cantik.
Fajrin: Ini dari tabunganku lho. Bukan minta papa. Terus, tukang rias juga aku yang bayar. Nanti habis nikah kita naiknya motor ninja aku biar romantis dan kamu peluk punggung aku.
Bia memutar bola mata dan membuang napas kasar. Dia tak menyangka akan seperti ini.
Fajrin: Pokoknya, aku mau jadi suami kekinian. Kalau istri capek, gak usah masak. Biar kita makan di luar atau pesan g-food. Kalau kerjaan rumah banyak, aku bakal bantu. Kalau an4k-an4k kita banyak, aku gendong semua. Kamu jalan aja bawa belanjaan. Manis gak?
Bia: Hoaaahm. Aku ngantuk. Sampai ketemu besok.
Fajrin: Aku lagi bahas masa depan lho. Kak Fauzan bilang jangan kebanyakan menggombal kalau mau nikah. Tapi bahas masa depan pernikahan.
Bia tak membalas dan hanya membacanya dari layar notifikasi pop-up. Kemudian membuang napas kasar dan menyandar di tempat tidurnya yang ada di lantai.
“Ya Allah, semoga apa yang kupilih tak menjadikanku salah dalam melangkah,” gumamnya.
Sebuah pesan pun masuk ke ponselnya dari nama yang belum ia simpan.
“Assalaamu’alaikum, Dek Bia. Ini Faqih, ini serius ta’aruf saya ditolak?”
Bia: Iya, Ustadz, mohon maaf. Bia merasa belum pantas untuk orang sebaik Ustadz.
Faqih: Bukan karena kamu mau menikah dengan Muhammad Fajrin Ridwan? Anak Pak Ridwan Hadi? Saya tahu, karena besok diminta jadi saksi pernikahan dari pihak Fajrin.
Bia: Iya. Saya akan menikah dengan murid saya. Anak Pak Ridwan.
Faqih: Karena dia anak pejabat?
Bia: Terserah ustadz mau menuduh apa. Saya mohon maaf, saya harus memilih jalan ini. sekali lagi mohon maaf.
Faqih: Maaf kalau terkesan menghakimi. Saya sangat kaget, saya pikir ... kamu akan jadi istri saya. Malah ... besok saya akan menjadi saksi untuk kamu nikah.
Bia memejamkan mata dan meringis nyeri. Hatinya seperti tercabik. Andai Ustadz Faqih tahu bahwa ia pun lebih memendam rasa padanya, bukan pada Fajrin.
Bia: Adakalanya pilihan tak populer dipilih karena ada ketidakberdayaan. Adakalanya cinta harus mengalah pada takdir yang tak seirama. Semoga saja jalan mana pun yang kita pijak, berduri atau dipenuhi madu ... tak menjadikan kita mengurangi cinta pada Allah.
Faqih: Kata-katamu seperti menyiratkan butuh pertolongan. Cerita saja. Mumpung ijab kabul belum terjadi.
Namun, Bia mematikan ponsel dan memeluk guling sambil menangis karena tak menyangka hidupnya seperti ini.
***
Pagi ini, Bia dan pamannya sudah menuju daerah yang akan dijadikan akad nikah. Pun dari keluarga Fajrin sudah bersiap di rumah tersebut.
Ustadz Faqih dan Ustadz Bahrul pun datang bersamaan. Mereka menunggu di ruang tamu rumah itu dengan perasaan tak karuan.
Fajrin sendiri mengenakan kemeja putih, celana dan jas kreme, sedangkan Bia tengah didandani oleh perias. Mengenakan gamis putih dan kerudung yang dijuntaikan serta kerudung yang menutup rapat rambutnya.
Usai didandani, dia pun keluar dan menunduk kaku. Dalam tatapan Ustadz Faqih, Bia duduk di sisi ibunya Fajrin, mencium punggung tangannya. Lalu pada Fauzia yang sama-sama tak terlihat bersahabat.
Sebuah tanda salah satu ujian pernikahannya. Ipar dan mertua perempuan yang tak bersahabat.
Fajrin berhadapan dengan Om Seno, yang di sisinya ada Ustadz Bahrul dan Ustadz Faqih sebagai saksi pernikahan, lalu Pak Hikam dan Pak Ridwan yang juga duduk tak jauh dari mereka.
“Ini semoga niatnya karena ibadah. Karena Bia meminta saya jadi saksi,” ujar Ustadz Bahrul.
“Saya diminta Pak Ridwan jadi saksi dari KUA, untuk kalau nanti sudah siap didaftarkan, akan lebih mudah,” ujar Ustadz Faqih juga, “saksi dari pihak lelaki siapa?”
“Saya,” ujar Pak Hikam.
“Mari, silakan dimulai saja,” kata lelaki muda itu. Meskipun ia orang KUA, tapi tak berani menolak permintaan orang seperti Ridwan Hadi. Karena lelaki itu memiliki pengaruh dan juga memintanya merahasiakan pernikahan putranya. Namun, akan segera mengurus berkasnya.
Om Seno menjabat tangan Fajrin dan Ustadz Faqih, yang seharusnya menjadi mempelai pria, justru menjadi penghulu untuk perempuan yang menikah hari ini.