Yang Bersaudara Itu kita, Bukan Duit! | Cerpen Kiw Kiw
"Apa kau benar-benar mengira aku sebodoh itu, Amira." desis Rusli tajam, membuat raut percaya diri Amira yang telah normal menjadi surut kembali.
"Apa? Jangan bilang Mas punya simp4nan diam-diam!" Memerah wajah Amira. ternyata suaminya yang patuh pandai main belakang juga. Ia merasa tertipu.
Rusli terawa sumbang. "Bercerminlah sekarang, Amira. Kau akan histeris melihat raut wajahmu yang seperti itu." dengus Rusli, kemudian ia melanjutkan langkahnya membuka pintu dengan kasar lalu, menghempaskan keras, membuat tubuh Amira terlonjak kaget.
"Mas! Berhenti!"
Amira berteriak dengan kekuatan suara penuh, berharap suaminya akan kembali merengkuh tubuhnya seperti yang lalu-lalu. Tetapi tidak, Suara mesin mobil di halaman menghapus angannya.
Amira tetap saja tidak kehabisan akal, hatinya begitu panas sekarang. Dipasang kembali jilbab lebarnya, dengan cepat ia membuka pintu lalu berlari menyusul mobil yang hampir keluar dari perkarangan.
"Mas, berhenti! Aku tidak bisa kamu perlakuan seperti ini, kamu sudah zolim, Mas!"
Tetap saja, walaupun Amira telah berlari dan berteriak sekencang-kencangnya hingga mengundang perhatian tetangga, mobil yang dikendarai Rusli sudah menghilang di balik tikungan kompleks elit itu.
"Dasar lelaki tidak tahu diri! Lihat saja nanti, kamu akan mengemis-ngemis untuk sebuah maaf dariku" umpat Amira kesal.
Dengan gontai wanita yang masih terlihat cantik dalam keadaan kacau seperti itu, melangkah ke dalam rumah. Ia sempat mendelik kesal pada para tetangga yang seperti kepo dengan drama yang baru saja ia mainkan.
πΌπΌπΌ
Rusli memarkirkan mobil dengan asal di halam tokonya yang luas. Dengan tergesa ia turun lalu, berjalan cepat ke dalam bangunan ruko bertingkat tiga yang begitu luas. Barang-barang menumpuk di setiap sisi ruangan, menggambarkan kejayaan yang sedang berpihak pada sang pemilik.
Rusli mendekati meja kasir, berbicara sebentar dengan dua karyawan yang dari tadi tengah sibuk menghitung belanjaan para pembeli yang membludak.
"Berikan dua puluh jvta." Pinta Rusli.
Dua karyawan itu, saling pandang. Mereka sedikit heran, tidak biasanya bos mereka ini, minta uwang dalam laci kasir siang-siang bolong begini.
"Ta, tapi pak ..." Mereka terlihat ragu.
"Kenapa? Aku juga Bos kalian di sini!" Bentak Rusli. Dalam hati ia merasa begitu rendah, bahkan karyawan tokonya sendiri tidak merasa segan padanya. Pengaruh Amira benar-benar membuatnya tidak ada arti.
"I,iya pak ... tapi kami harus izin, Ibuk dulu." Dengan tangan gemetar salah satu dari karyawan itu meraih ponsel. Rusli semakin gemas.
" Berhenti! Jangan hubungi siapapun! Berikan uwang itu secepatnya. Ah, kenapa aku harus repot-repot meminta pada kalian? Aku juga bisa ambil sendiri!"
Dengan cepat Rusli memasuki ruangan sempit khusus kasir, dengan kalap ia mendorong kedua karyawan itu, hingga mereka sedikit terjerembat. Tanpa basa-basi lagi, tangan Rusli membuka laci kasir lalu mengambil tumpukan uwang dari dalam sana.
Dalam sekejap Rusli telah menjelma menjadi peramp0k, hanya saja kabar baiknya yang di gasak adalah uwang miliknya sendiri, persetan dengan reaksi Amira nanti, ia tidak ingin pusing memikirkannya.
Rusli dengan segera meninggalkan tempat itu, memacu mobilnya dengan perasaan lega. Rasa senang menelusup dalam hatinya. Walau dengan cara yang sedikit brutal, akhirnya ia akan bisa membantu adiknya.
Ia meraih ponsel yang terletak di dash. Menggeser layar dan menemukan nomor ponsel Raffi. Segera ia menekan tombol dial.
Hanya terdengar nada yang tersambung, tapi tidak di jawab.
Apakah, ia marah padaku? Guman Rusli sedih.
Yah, wajar saja ia marah, aku tidak berguna sebagai kakak. Percuma saja punya banyak uwang tapi, tidak bisa meringankan beban saudara yang membutuhkan. Hanya karena selama ini terlalu menuruti kata istri. ... Rusli semakin menggumpati dirinya.
Mobil diberhentikan begitu saja di bahu jalan. Lalu tiba-tiba saja bayangan Amira yang tengah menerima telpon Raffi tadi siang tanpa merasa bersalah singgah di pulupuk matanya. Menghadirkan sensasi panas dalam dada.
Akh ... keterlaluan, desisnya, dengan gemas ia memukvl kemudi.
Dengan penuh harap ia kembali meraih ponsel, menekan kembali nomor adiknya. Lagi-lagi nada tersambung tapi tidak di angkat.
Rusli mencoba lagi dan lagi. Entah dipanggilan keberapa, akhirnya terdengar sapaan penuh kelegaan dari sana.
Begitu juga Rusli, ia juga sangat lega sekarang.
"Kirim nomor rek3ningmu, Raffi. Abang akan segera transf3r uwangnya sekarang" ucap Rusli riang.
"Oh, benarkah, Bang? Tetapi tadi ..."
"Abang mencari pinj4man, Raff." Rusli terpaksa mengarang alasan, tidak mungkin ia bilang Amira yang berbohong.
"Terimakasih, Bang. Sudah mau repot-repot mencari pinj4man untuk kami. Tetapi, Alhamdulillah biaya operasi telah dilun4si, Bang..."
Rusli terkejut ...
"Bukannya, kamu bilang tidak punya uwang?"
"Memang benar itu, Bang ... Tetapi barusan ada orang baik. Ia dengan suka rela membayar semuanya, Bang. Aku jadi tidak enak, ia bilang itu, suka rela tidak di hitung hut4ng...."
Rusli merasa ucapan Raffi sangat menohok dirinya.
Ada orang baik yang membayarkan biaya operasi istri adiknya dengan suka rela. Sedangkan ia sebagai kakak kandung tidak bisa berbuat apa-apa selain tahkluk di kaki sang istri.
Kau, benar-benar terlihat sangat buruk sekarang, Rusli ... umpat hati kecilnya.
Yang Bersaudara Itu Kita, Bukan Duwit! ( Tamat).